Kearifan local dan hidup harmony bersama bencana (mari bersama membangun system peringatan dini/ early warning system dalam menghadapi bencana)

Assalamuálaikum warahmatullahiwabarakaatuh

Setelah membahas susu unta, saya ingin kembali ke topik pertama yaitu AIDS. Tapi melihat begitu banyak bencana yang terjadi saat ini, tiba-tiba saya ingin menulis tentang bencana. Tahun 2004-2007 di saat saya ditempatkan di RSPI Sulianti Saroso (RSPI-SS), saya sebetulnya adalah dokter brigade siaga bencana (BSB). Program BSB ini dibuat oleh Kementerian Kesehatan (saat itu namanya masih Departemen Kesehatan) untuk siap pada saat tanggap darurat bencana. BSB bukan hanya dokter, tetapi didalamnya ada juga perawat, logistic, administrasi dll. Suatu tim yang dibentuk komprehensif dan siap diturunkan setiap saat ketika bencana datang. BSB khusus dalam penanganan kesehatan. Kami sering bekerja sama dengan instansi lain dalam penanggulangan bencana.

Khusus untuk dokter BSB, bila tidak ada bencana kami dititipkan di rumah sakit-rumah sakit milik Kementerian Kesehatan (Kemkes). Hampir di semua propinsi di Indonesia ada dokter BSB. Saya pernah bertugas bersama dengan teman BSB Riau, Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Bali, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara dan Maluku Utara. Di Jakarta ada 4 rumah sakit milik Kemkes yang menjadi tempat dokter BSB bertugas sehari-hari. Yaitu RS Cipto Mangunkusumo, RS Fatmawati, RS Persahabatan dan RSPI-SS. Biasanya kami ditempatkan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) tetapi kami juga bisa ditempatkan dimana saja sesuai kebijakan rumah sakit.

Pengalaman saya ketika menjadi dokter BSB selama 3 tahun, diantaranya:

  1. Tim kesehatan pada saat ekstradisi tenaga kerja Indonesia illegal dari Malaysia
  2. Tim kesehatan kelaparan kronik di Yahukimo, Papua
  3. Tim kesehatan tsunami Aceh (saat tsunami Aceh saya tidak berkesempatan ke Aceh, saya menjadi tim yang bertugas di Jakarta menjemput korban-korban tsunami Aceh yang dirujuk ke Jakarta untuk mendapatkan penanganan kesehatan lanjut. Saya bersama tim (perawat dan supir) standby di bandara Halim Perdanakusumah dengan ambulance dan bila pesawat datang membawa korban, kami jemput dan membawa korban ke rumah sakit yang telah ditunjuk)
  4. Tim kesehatan gempa Bantul, Yogya pada tahun 2006
  5. Tim penanganan flu burung di RSPI-SS. Mungkin masih ada yang ingat, tahun 2005 terjadi wabah flu burung dan rumah sakit yang ditunjuk sebagai rujukan flu burung adalah RSPI-SS. dll

Dalam artikel kali ini saya akan fokus membahas kearifan lokal/ peran masyarakat untuk membangun early warning system bencana.

Ketika saya menjadi dokter BSB, kami mendapatkan pelatihan-pelatihan mengenai bencana. Dan hampir semua mentor maupun dosen yang mengajar selalu mengatakan kita di Indonesia ini hidup di Negara supermarket bencana. Apa sih maksud supermarket bencana? Di supermarket kan semuanya ada, tersedia. Nah begitu juga di Indonesia, kita punya semua bencana. Ada gempa bumi, tsunami, angin puting beliung, longsor, gunung berapi, banjir dll.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sudah melakukan pemetaan bencana (Gambar 1) di Indonesia dan bisa didapatkan peta tersebut dalam web BNPB yaitu https://bnpb.go.id//potensi-bencana dan juga dalam buku (Amri, et al., 2016).

Gambar 1. Peta Potensi dan Ancaman Bencana di Indonesia (https://bnpb.go.id//potensi-bencana)

Bisa terlihat dalam peta hampir seluruh wilayah Indonesia mempunyai tingkat kerawanan tinggi terhadap bencana.

Dalam membangun early warning system (EWS) tentunya tidak bisa lepas dari peran masyarakat. Masyarakatlah yang pertama terkena dampak bencana, dan peringatan dini melalui media massa akan membutuhkan waktu beberapa menit untuk sampai ke masyarakat. Sedangkan informasi bencana dari lokasi bencana ke instansi berwenang juga membutuhkan waktu. Walaupun saat ini pemerintah sudah sangat sigap menangani bencana, tetapi tetap menurut saya kewaspadaan dini di masyarakat lebih penting untuk meminimalisasi dampak bencana.

DR. Syamsul Maarif dalam buku Pikiran dan Gagasan Penanggulangan Bencana di Indonesia (Maarif, 2012) menyatakan bahwa filosofi menghadapi ancaman bencana ada 4 yaitu menjauhkan ancaman dari manusia, menjauhkan manusia dari ancaman, hidup harmoni bersama bencana dan belajar dari pengalaman. Rasanya hampir tidak mungkin menjauhkan ancaman dari manusia, sedangkan menjauhkan manusia dari ancaman juga pastinya sangat sulit. Paling mungkin adalah hidup harmoni bersama bencana dan belajar dari pengalaman.

Kita bisa melihat pengalaman Negara-negara seperti Jepang dan Amerika. Kedua Negara ini menurut saya bisa menjadi contoh masyarakatnya yang hidup harmoni bersama bencana dan belajar dari pengalaman. Jepang dengan bencana gempanya yang begitu sering dan Amerika dengan angin Tornadonya. Di Jepang walaupun sering sekali gempa, masyarakatnya sudah tahu apa yang harus dilakukan. Pemerintahnya juga mengatur pembangunan seaman mungkin dari gempa sehingga Jepang terkenal dengan rumah kayu dan kertas dan juga bangunan tinggi yang meliuk ketika terkena gempa. Sedangkan Amerika meminimalisasi dampak tornado dengan membangun bunker dalam rumah dilengkapi dengan supply makanan dan air.

Masyarakat Indonesia juga mempunyai kearifan local dalam menghadapi bencana. Misalnya cerita teman yang pernah bertugas di Aceh dan juga pemberitaan televisi. Ketika tsunami Aceh tahun 2004, korban tsunami paling sedikit ada di Pulau Simeleu. Kenapa? Karena masyarakat Simeleu mempunyai suatu cerita rakyat yang salah satu ceritanya tentang kalau ada gempa kemudian air surut segera lari ke tempat tinggi. Kita ketahui setelah gempa Aceh air surut, ikan berserakan di pantai dan tidak lama setelah itu tsunami. Begitu melihat fenomena air surut, masyarakat Simeleu lari ke tempat tinggi. Berbeda dengan masyarakat di Aceh daratan. Begitu air surut  tidak lari ke tempat tinggi, bahkan yang sedang berada dipinggir pantai sibuk mengumpulkan ikan yang berserakan sehingga ketika air naik tidak sempat lari. Pengalaman nenek moyang masyarakat Simeleu disampaikan melalui cerita rakyat yang kemudian diingat oleh masyarakat Simeleu.

Berbeda dengan Yogyakarta. Kita kenal dengan sosok Mbah Marijan. Kuncen gunung Merapi yang fenomenal. Pada saat terjadi gempa Yogya tahun 2006, sebetulnya sudah ada tim bencana yang standby untuk erupsi Merapi. Pada saat itu sudah ada peringatan untuk masyarakat lereng gunung Merapi mengungsi. Tetapi Mbah Marijan bilang tidak perlu karena Merapi belum erupsi. Dan masyarakat lereng gunung lebih percaya Mbah Marijan dibandingkan himbauan pemerintah. Kemudian terjadi gempa, saya tiba di Yogya H+2 setelah gempa dan masih merasakan beberapa kali gempa susulan. Kami dari Kemkes bertugas di ambulance keliling, langsung ke masyarakat korban gempa. Saya mendapat tugas di Kabupaten Gunung Kidul. Saya sempat bertanya pada beberapa orang kenapa masyarakat lereng gunung lebih percaya himbauan Mbah Marijan dan tidak mau mengungsi? Pasti banyak yang berpikir klenik J

Ternyata, jawabannya sangat ilmiah. Menurut beberapa orang yang diwawancara, Mbah Marijan mempunyai kemampuan membaca tanda-tanda alam untuk membaca pola erupsi Gunung Merapi. Mengapa saat itu Mbah Marijan tidak menyarankan masyarakat lereng gunung untuk mengungsi karena Mbah Marijan tidak melihat adanya tanda-tanda alam akan terjadi erupsi gunung Merapi. Tidak ada eksodus dari hewan-hewan liar (tidak ada kawanan gajah dan rusa yang turun gunung), ular belum keluar dari lubangnya dll. Kemampuan Mbah Marijan dalam membaca tanda-tanda alam ini tentunya merupakan asset bagi masyarakat di lereng gunung Merapi untuk mengetahui aktifitas gunung Merapi.

Apa yang dilakukan di Amerika dan Jepang adalah upaya mitigasi (mengurangi dampak bencana) yang dilakukan berdasarkan pengalaman sebelumnya. Sedangkan yang dilakukan oleh masyarakat Pulau Simeleu dan lereng gunung Merapi adalah cara bagaimana masyarakat hidup harmoni dengan bencana. Jadi, mungkin ada kearifan local di daerah masing-masing yang bisa dijadikan salah satu acuan kewaspadaan dini terhadap bencana baik dalam bentuk kisah-kisah, lagu-lagu, kesenian lain, atau sosok seperti Mbah Marijan yaitu tokoh local yang dihormati masyarakat karena ilmunya.   

Kalau ada share di kolom comment ya, semoga bisa dikumpulkan dan menjadi salah satu sarana untuk tukar informasi.

Jadi kalau begitu ga perlu pake alat canggih dong buat mendeteksi bencana?

Alat-alat canggih tentunya sangat diperlukan. Sekarang kan sudah jaman serba elektronik. Tentunya alat-alat ini mempunyai manfaat yang sangat tinggi dalam EWS. Semua punya kekurangan dan kelebihan masing-masing yang tentunya bisa saling mengisi. Alat-alat canggih bisa lebih obyektif, bisa menilai perubahan karakter bencana dari waktu-ke waktu, semuanya tercatat, bisa menjadi data untuk diolah menjadi informasi, kekurangannya mahal dan memerlukan sumber daya yang besar. Sedangkan kearifan local tentunya lebih murah tetapi sulit untuk menilainya secara obyektif. Dalam membangun peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana khususnya EWS keduanya sangat penting.

Saya juga ingin menginformasikan bahwa sudah ada lembaga swadaya masyarakat yang berperan besar dalam mengajak masyarakat peduli terhadap bencana dan membangun peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana. Yang saya ketahui dan mengenal beberapa orang pengurus maupun mantan pengurusnya adalah Masyarakat Peduli Bencana Indonesia (MPBI) (www.mpbi.info), Wanadri (www.wanadri.or.id), Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) (www.mdmc.or.id).

Demikian yang bisa disampaikan, semoga bisa memberikan informasi bermanfaat. Sampai jumpa dalam artikel selanjutnya.

Wassalamuálaikum warahmatullahiwabarakaatuh

Amri, M., Yulianti, G., Yunus, R., Wiguna, S., Adi, A., Ichwana, A., et al. (2016). Risiko Bencana Indonesia. Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Maarif, S. (2012). Masyarakat Sipil Dalam Penanggulangan Bencana. In S. Maarif, Pikiran dan Gagasan Penanggulangan Bencana di Indonesia (pp. 173-221). Jakarta: Badan Nasional Penanggulangan Bencana.

Leave a comment