ETIKA PENELITIAN 3

Prinsip Etika Penelitian Kesehatan

              Dalam pembahasan sebelumnya sudah disinggung tentang prinsip menghormati (respect), berbuat baik (beneficence)/ tidak membahayakan subyek (non-maleficence/ do no harm) dan adil (justice).  Setiap peneliti kesehatan harus memahami dan taat pada prinsip-prinsip tersebut dalam merencanakan dan menjalankan suatu penelitian. Hal ini dapat dinilai dalam proposal/ protokol penelitian  yang dikembangkan. 1–3

Etika penelitian baru diatur pada tahun 1947 dalam Nuremberg Code, namun prinsip-prinsip tersebut sudah disampaikan oleh filsuf-filsuf ternama seperti Socrates, Plato, Aristotle sebelum Masehi. Lebih lama lagi para Nabi dan Rasul serta para alim ulama dalam mengajarkan akhlak juga mengajarkan prinsip menghormati, berbuat baik dan adil. Begitu juga ketika para founding parents merumuskan dasar negara sudah memasukkan ketiga prinsip tersebut dalam sila-sila Pancasila terutama sila ke-2 dan ke-5. Hal ini menunjukkan bahwa sifat manusia yang baik adalah ketika ketiga prinsip tersebut disamping prinsip-prinsip kemanusiaan lainnya harus dibawa dalam kehidupan sehari-hari, termasuk peneliti kesehatan ketika melakukan penelitian.4

Prinsip-prinsip etika penelitian kesehatan2–4:

  1. Respect (menghormati)

Dalam suatu penelitian kesehatan, peneliti perlu memberikan kebebasan kepada subyek penelitian untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya dan menghormati martabat orang lain. Tidak diperkenankan memaksa, memberikan iming-iming (seperti hadiah, uang yang besar dll), terutama pada kelompok rentan seperti tahanan, anak-anak, orang tua, orang dengan gangguan jiwa, tentara dll. Maka perlu dipastikan dengan baik bahwa keikutsertaan subyek dalam penelitian adalah sukarela.

Subyek berhak mengundurkan diri baik kapanpun tanpa perlu memberikan alasan. Apabila ketika penelitian berjalan, peneliti menemukan adanya hal yang dapat mengganggu keamanan subyek ataupun penelitian menjadi tidak bermanfaat jika dilanjutkan, maka peneliti perlu segera menghentikan penelitian.5

  • Beneficence (berbuat baik) dan non-maleficence (tidak membahayakan)

Peneliti harus menjelaskan dengan jujur apa saja risiko dan manfaat apabila subyek ikut serta dalam penelitian. Apabila penelitian melibatkan produk seperti obat, vaksin, jamu, tindakan medis maka dengan jujur dijelaskan efek produk pada penyakitnya dan efek samping apa saja yang mungkin ditimbulkan. Peneliti juga harus mempunyai kompetensi di bidangnya. Penelitian klinis harus dilakukan oleh dokter atau professional medis lainnya, penelitian terkait gizi harus dilakukan oleh ahli gizi dan lainnya. Untuk penelitian terkait uji klinik (obat, vaksin, tindakan medis) peneliti harus sudah lulus dan mempunyai sertifikat cara uji klinik yang baik (CUKB)/ good clinical practices (GCP).

Penelitian dianggap tidak memenuhi kaidah etika apabila manfaat yang didapatkan lebih sedikit dibandingkan risiko. Misalnya suatu uji klinik obat A (obat hipertensi baru) menurunkan tekanan darah 3 mmHg lebih cepat dibandingkan obat B (obat standar). Obat A diberikan melalui suntikan sedangkan obat B diminum. Maka risiko dari pemberian melalui suntikan lebih besar (risiko infeksi, alergi akan lebih cepat muncul, menimbulkan rasa nyeri di tempat suntikan, bisa menimbulkan keloid) dibandingkan risiko pada obat yang diminum (alergi muncul lebih lambat, mual, muntah). Maka penelitian obat A tidak etis apabila dilanjutkan.

  • Adil (justice)

Prinsip adil dalam uji klinis dapat berupa kesetaraan obat uji. Artinya obat uji dan obat yang digunakan sebagai standar harus mempunyai efektifitas yang setara. Apabila obat uji diketahui lebih baik dari obat standar, maka prinsip adil tidak terpenuhi. Pada penelitian bukan uji klinis pengamatan pada kelompok yang satu harus sama dengan kelompok yang lain. Misalkan pada penelitian kasus control, peneliti mengamati kasus lebih lama dibandingkan pengamatan pada control maka prinsip adil tidak terpenuhi.

Prinsip dalam penelitian kesehatan harus dipegang teguh oleh seluruh peneliti maupun non-peneliti yang melakukan penelitian bidang kesehatan seperti mahasiswa, tenaga medis dll. Dengan bertumpu pada etika penelitian, maka ide-ide liar yang bisa menimbulkan bahaya pada subyek penelitian dapat dihindari.

Daftar pustaka:

1.         Commission E, Stirton R. European Textbook on Ethics in Research and Syllabus on Ethics in Research. Vol. 7, Research Ethics. 2011. 74–75 p.

2.         National Health Research Ethics Council (NHREC). Guideline on principles, processes and structures on ethics in health research. 2015;67.

3.         Kemenkes. Pedoman dan Standar Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional. Kementeri Kesehat RI [Internet]. 2017;1–158. Available from: http://www.depkes.go.id/article/view/17070700004/program-indonesia-sehat-dengan-pendekatan-keluarga.html

4.         Londan BU. Research ethics handbook: philosophy, history and theory. 32015;

5.         National Health Research Ethics Council (NHREC). Ethics in Health Research: Principles, Processes and Structures – 2015. Encuentro. 2010. p. 55–66.

Etika Penelitian 2

Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)/ informed consent (IC)

Setiap orang yang menjadi subyek penelitian (bukan obyek) harus bebas menentukan apakah akan setuju atau tidak ikut dalam penelitian. Agar dapat membuat keputusan, subyek dipastikan telah memahami tujuan penelitian dan proses penelitian yang akan dijalani oleh subyek. Penjelasan mengenai penelitian dicantumkan dalam lembar naskah penjelasan. Peneliti boleh menjelaskan mengenai penelitian kepada subyek namun tidak boleh membujuk secara berlebihan (seperti mengiming-imingi sesuatu), memaksa maupun mengintimidasi. Penjelasan disampaikan secara tertulis dalam naskah penjelasan, secara singkat dan menggunakan Bahasa awam (bukan Bahasa medis yang tidak dimengerti subyek). Setelah dipastikan subyek paham, apabila subyek setuju, maka subyek memberikan persetujuannya serta menadatangani lembar persetujuan.  Apabila subyek tidak setuju maka subyek dipersilahkan untuk menolak. Proses ini dilakukan secara sukarela baik oleh subyek maupun peneliti. Pengambilan PSP harus selesai sebelum penelitian dilakukan. 1,2

              Penelitian yang melibatkan manusia sebagai subyek akan berada dalam pengawasan Komisi Etik (KE). Umumnya lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian kesehatan seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), Universitas-Universitas yang memiliki Fakultas Kedokteran/ Keperawatan/ Kesehatan Masyarakat  memiliki KE. Komisi Etik akan sangat memperhatikan PSP dan proses pengambilannya. Persetujuan setelah penjelasan dapat diabaikan apabila dalam kondisi sebagai berikut:1

  1. penelitian tidak akan layak atau tidak dapat dilaksanakan,
  2. penelitian memiliki nilai sosial yang penting dalam kedaruratan; dan
  3. penelitian tidak menimbulkan lebih dari risiko minimal untuk peserta. Ketentuan tambahan mungkin berlaku ketika penelitian dilakukan dalam konteks tertentu.

Dalam KE selain berisi para ahli-ahli di bidang kedokteran dan kesehatan, dalam kepengurusannya juga melibatkan orang awam yang biasa disebut lay person. Lay person merupakan orang yang dalam keseharian dan profesinya tidak terkait dengan kedokteran dan kesehatan contohnya seperti guru, insinyur, pedagang dan lainnya. Dengan adanya Lay person maka akan ada masukan dari sudut pandang masyarakat. Termasuk hal-hal yang terkait dengan kondisi lokal masyarakat (agama, budaya, kebiasaan, Bahasa dan lain sebagainya). 1,3

Dalam pengambilan PSP peneliti harus bisa menghormati subyek. Ada 3 prinsip menghormati yang harus dipegang yaitu menghormati kehendak pribadi (respect for autonomy), martabat (respect for dignity) dan orang (respect for person). Selain prinsip menghormati juga harus memenuhi prinsip berbuat baik (beneficence) dan keadilan (justice). Jadi seorang peneliti harus menghormati, berbuat baik dan memperlakukan subyek penelitian dengan adil. Bagaimanapun, subyek sudah sukarela ikut dalam penelitian. Subyek yang satu harus mendapat perlakuan yang sama dengan subyek yang lain. Tidak dipengaruhi siapa, jabatannya apa, perbedaan suku, agama, ras maupun golongan. Semua mendapatkan perlakuan yang sama. Berbuat baik dalam arti tidak menyakiti atau berbuat hal-hal yang dapat menimbulkan bahaya bagi subyek (do no harm). Bahkan seharusnya memberikan perlindungan bagi yang rentan (tahanan, anak-anak, tentara, orang dengan gangguan jiwa dan lainnya).  1–3

Hal-hal terkait pelaksanaan penelitian, perlakuan yang akan didapatkan oleh subyek harus tercantum dengan jelas di dalam PSP. Sebuah penelitian yang memenuhi kaidah etik harus mencantumkan hal-hal sebagai berikut:1

  1.  Ada Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Concent)

Untuk memastikan bahwa subyek setuju mengikuti penelitian, subyek membubuhkan tandatangan di lembar yang telah disediakan. Apabila subyek tidak bisa tanda-tangan dapat digantikan dengan cap jempol atau coretan dengan disaksikan oleh orang lain di luar tim peneliti (bisa keluarga, tetangga, petugas kesehatan yang bukan tim peneliti dll). Subyek anak yang belum bisa mengambil keputusan sendiri, pasien tidak sadar, orang dengan gangguan jiwa dapat diwakili oleh keluarga yang merupakan wali sah (orang tua, saudara sekandung, istri/suami dll), anak berusia 12 tahun ke atas dianggap sudah mamppu membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Oleh karena itu tetap dimintai tanda-tangan dan juga tanda-tangan wali yang sah sekaligus dalam lembar yaitu assent form.

  • Ada penggantian biaya transport dan kehilangan waktu kerja

Subyek penelitian akan melakukan serangkaian kegiatan yang tentunya memakan waktu. Oleh karena itu harus diberikan kompensasi berupa transport dan penggantian waktu yang hilang. Kompenssasi ini diberikan dengan jumlah yang layak namun tidak berlebihan. Misalnya subyek diwawancara selama 3 jam, maka perlu dihitung seandainya dalam 3 jam tersebut rata-rata orang menghasilkan Rp. 200.000, maka penggantian waktu yang hilang dalam rentang Rp. 200.000-300.000 ribu dapat dianggap wajar, namun bila diberikan Rp. 1.500.000 maka dapat dianggap tidak etis karena merupakan iming-iming agar mau mengikuti penelitian.

  • Ada pernyataan kerahasiaan dan dalam mengambil data/wawancara dipertimbangkan privasi subjek

Setiap subyek harus dijaga kerahasiaannya. Baik keikutsertaannya maupun data yang diberikan oleh subyek. Dan dalam lembar “naskah penjelasan” pernyataan mengenai kerahasiaan subyek, bagaimana cara menjaga kerahasiaan tersebut, penyimpanan data, cara menjaga keamanan data dan berapa lama data disimpan. Bila sudah selesai dalam kurun waktu tertentu bagaimana pengelolaaan data, apakah terus disimpan atau dimusnahkan harus dicantumkan dengan jelas.

  • mempunyai Nilai sosial dan Nilai klinis

Sebuah penelitian yang baik akan mempunyai nilai bagi orang banyak. Sebuah penelitian dengan metodologi yang baik kadang kurang mempertimbangkan aspek klinis dan social. Penelitian kesehatan yang dilakukan sebaiknya mempunyai luaran klinis yang dapat bermanfaat dan juga mempertimbangkan aspek social masyarakat yang menjadi target penelitian. Misalnya penelitian di Bali maka penelitian tidak dilakukan di saat hari raya Nyepi, bila dilakukan di daerah yang mayoritas Muslim, maka produk yang digunakan harus berlabel halal, di beberapa daerah penelitian juga perlu izin dari pemuka adat dan agama setempat. Sedangkan nilai klinis dapat berupa, cara diagnosis yang baru, model penatalaksanaan penyakit yang lebih baik, obat yang lebih efektif dll.

  • Mempunyai Nilai Ilmiah

Penelitian harus mengikuti cara/ metodologi penelitian kesehatan yang baik sehingga hasilnya akan baik. Penelitian yang perencanaannya buruk maka hasilnya akan buruk juga (garbage in, garbage out). Proses pengambilan data baik berupa wawancara, pengambilan sampel, pemeriksaan lainnya harus dijelaskan secara singkat dan tepat dengan Bahasa awam. Misalnya akan dilakukan wawancara selama kurang lebih 2 jam, pengambilan sampel darah dengan cara menusuk ujung jari tengah kiri sebanyak 2-3 tetes, dilakukan pemeriksaan usap dengan memasukkan kapas lidi ke dalam hidung sepanjang sekitar 5 cm (satu jari telunjuk dewasa). Bahasa dalam PSP tidak diizinkan menggunakan Bahasa medis (kalau sulit dihindari harus menyertakan definisinya). Misal pemeriksaan patologi anatomi (pengambilan sedikit jaringan/ bagian tubuh untuk diperiksa di bawah mikroskop). Informasi mengenai perlakuan pada sisa sampel apakah akan disimpan atau dimusnahkan juga harus diinformasikan kepada subyek.

  • Ada Pemerataan Beban dan Manfaat yang jelas diantara subjek penelitian

Beban dan manfaat yang dirasakan oleh setiap subyek penelitian harus sama.

  • Manfaat lebih besar daripada Risiko.

Contoh penelitian yang menghasilkan produk: Obat atau vaksin baru, dan pengembangan IPTEK Kesehatan (novelty)

Daftar Pustaka:

1.         Kemenkes. Pedoman dan Standar Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional. Kementeri Kesehat RI [Internet]. 2017;1–158. Available from: http://www.depkes.go.id/article/view/17070700004/program-indonesia-sehat-dengan-pendekatan-keluarga.html

2.         Commission E, Stirton R. European Textbook on Ethics in Research and Syllabus on Ethics in Research. Vol. 7, Research Ethics. 2011. 74–75 p.

3.         MRC. Ethics in Health Research: Principles, Structures and Processes. Heal (San Fr. 2004;97(850):1–67.

Etika Penelitian 1

1. Sejarah

Etika merupakan sebuah prinsip moral yang mengatur perilaku seseorang. Tanpa etika, maka seseorang dapat berbuat semena-mena dan berpotensi mencelakai orang lain. Seorang peneliti kesehatan dalam melakukan penelitian terikat dengan etika. Etika mengikat baik peneliti maupun penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian kesehatan etika merupakan salah satu inti dan proses penelitian diawasi oleh komisi etik.

Bagi pencinta novel, salah satu novel yang dikarang oleh Dan Brown berjudul “Inferno” (Neraka) dapat memberikan gambaran salah satu tindakan peneliti yang melanggar etika. Dalam novel tersebut diceritakan seorang peneliti nyentrik yang dengan pikirannya mengkhawatirkan jumlah populasi manusia yang semakin banyak. Si peneliti berinisiatif mengembangkan virus yang akan membuat separuh penduduk dunia mengalami kemandulan (infertilitas) sehingga jumlah penduduk dunia akan berkurang setengah di setiap generasi. Peneliti tersebut menjadi buronan dan diketahui meninggal dunia. Namun sebelum meninggal sudah menyiapkan agen untuk menyebarkan virus yang dibuatnya. Kemudian setelah berbagai intrik, si agen yang juga jenius direkrut oleh World Health Organization (WHO) untuk bergabung memperjuangkan kesehatan umat manusia di dunia.

Apakah cerita novel tersebut terjadi juga di dunia nyata? Sejarah mencatat beberapa penelitian yang dianggap melanggar etika dan moral. Kebanyakan dilakukan oleh NAZI di masa berkuasa, diantaranya:1,2

  1. Edward Jenner (1796)

Edward Jenner merupakan tokoh terkenal yang sangat berjasa dalam menemukan vaksin cacar (smallpox) sehingga saat ini dunia sudah mencapai eradikasi penyakit cacar. Eradikasi dapat diartikan sebagai nol kasus secara permanen atas usaha manusia. Namun untuk menemukan vaksin cacar, Jenner telah melakukan hal yang melanggar etika yaitu menyuntikkan kuman cacar sapi kepada anak berusia 8 tahun untuk menimbulkan antibody di dalam tubuh anak tersebut. Saat ini apa yang dilakukan oleh Jenner tidak diperbolehkan lagi karena melanggar salah satu prinsip etika penelitian kesehatan yaitu “do no harm” (tidak melakukan hal yang membahayakan.1,3

  • Eksperimen-eksperimen yang dilakukan oleh NAZI di Jerman (1939-1945).

Selama NAZI berkuasa, dokter-dokter NAZI melakukan banyak eksperimen pada tahanan yang berada di kamp-kamp penjara. Para tahanan diberikan radiasi, ditempatkan dalam ruangan beku, di injeksi dengan malaria dan TB, sehingga menyebabkan para tahanan mengalami kesakitan yang ekstrim, mutilasi hingga kematian. Tentunya hal tersebut dilakukan tanpa persetujuan. Setelah perang dunia II, pada tahun 1947 diadakan pertemuan di Nuremberg sebagai reaksi atas tindakan para dokter NAZI kepada tahanan yang sangat tidak etis. Pertemuan tersebut melahirkan Nuremberg Code.  Nuremberg Code menjadi inspirasi bagi World Medical Association (WMA) melahirkan Declaration of Hensinki tahun 1964 dan terus diperbaharui. Declaration of Helsinki menjadi acuan peneliti sebagai rambu agar penelitian berjalan sesuai dengan etika yang telah ditetapkan.

  • Tuskegee Syphilis Study (1932-1972)

Penelitian ini cukup terkenal, dilakukan oleh US Public Health Service di Amerika Serikat (AS). Pada saat itu di AS masih ada permasalahan ras. Penelitian dilakukan pada orang-orang Afrika-Amerika, tanpa informasi yang lengkap mengenai pelaksanaan penelitian. Tujuan dari Tuskegee study ini adalah untuk melihat perjalanan ilmiah penyakit sifilis. Sebagian responden penelitian dihalangi aksesnya pada penisilin yang pada saat itu sudah ditemukan. Akibat dari penelitian ini puluhan istri dan anak dari responden terinfeksi sifilis, apabila akses pada penisilin tidak dihalangi seharusnya istri-istri dan anak-anak tersebut bisa terhindar dari infeksi sifilis. Penelitian ini memperkaya Declaration of Hensinki yang direvisi pada tahun 1975.

              Selain penelitian-penelitian tersebut masih ada beberapa penelitian yang tidak memenuhi kaidah etik yang pada saat itu belum disepakati dengan baik. Walaupun belum disepakati dan terdokumentasi, seorang peneliti seharusnya memiliki empati dan nurani dalam memperlakukan subyek penelitian.

              Dapat terlihat bahwa penelitian-penelitian tersebut dilakukan dengan maksud yang baik. Terutama Edward Jenner sangat berjasa dalam eradikasi penyakit cacar. Namun ketika seorang peneliti mempunyai ide yang tidak dibatasi oleh etika, tidak menutup kemungkinan penelitian yang dilakukan menjadi liar. Oleh karena itu diperlukan suatu aturan agar penelitian dan peneliti tidak melampaui batas etika dalam melakukan penelitian.

Pada tahun 1964, World Medical Assembly dalam sidangnya di Helsinki mengambil kesepakatan untuk menerbitkan deklarasi khusus tentang etika kedokteran yang menyangkut subyek manusia. Deklarasi Helsinki memuat prinsip etika, dimana kepentingan subyek harus diatas kepentingan lain. Terdapat dua pernyataan yang merupakan kunci suatu penelitian yang menggunakan manusia sebagai subjek, yaitu :

1. Kepentingan individu subjek harus diberi prioritas dibandingkan dengan komunitas.
2. Setiap subjek dalam penelitian klinis harus mendapatkan pengobatan terbaik yang ada.

Pada Declaration of Helsinki ditetapkan bahwa selain diperlukan informed consent dari subjek penelitian, diperlukan juga ethical clearance yang dikeluarkan oleh Komisi Etik.

Daftar Pustaka:

1.         Commission E, Stirton R. European Textbook on Ethics in Research and Syllabus on Ethics in Research. Vol. 7, Research Ethics. 2011. 74–75 p.

2.         Kemenkes. Pedoman dan Standar Etik Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Nasional. Kementeri Kesehat RI [Internet]. 2017;1–158. Available from: http://www.depkes.go.id/article/view/17070700004/program-indonesia-sehat-dengan-pendekatan-keluarga.html

3.         Henderson DA. Smallpox eradication a WHO success story. World Health Forum; 1987. p. 283–92.

AIDS 2

Assalamuálaikum warahmatullahi wabarakaatuh

menyambung artikel mengenai HIV/AIDS yang lalu, mari kita lanjutkan pembahasan kita.

Kalau belum ada obat yang bisa menyembuhkan, mending jangan sampe kena deh.

Benar, lebih baik mencegah daripada mengobati. Apalagi AIDS tidak bisa sembuh. Tetapi kadang, sulit menghindari musibah. Misalnya dokter yang sedang menangani pasien, atau ketika menolong korban kecelakaan, secara tidak sengaja ada darah yang terciprat, penggunaan pisau cukur, gunting kuku yang bergantian juga bisa menularkan loh. Oleh karenanya saat ini prilaku hati-hati harus ditingkatkan. Barang-barang pribadi sebaiknya digunakan sendiri, tidak sharing. Ketika melihat kecelakaan, jangan menolong tanpa perlindungan. Misalnya ketika menggotong korban, bungkus dulu tangan dengan plastik untuk menghindari cipratan darah. Bagi dokter yang menangani kasus AIDS, bila terjadi kecelakaan kerja, sebaiknya langsung minum obat pencegahan. Pernah ada salah satu teman sejawat yang tidak sengaja tangannya tergores jarum ketika sedang menjahit pasien AIDS. Langsung minum obat pencegahan dan Alhamdulillah setelah dicek hasilnya negative.

Kondom bisa mencegah penularan bila digunakan dengan benar, tetapi kondom bukan satu-satunya cara untuk mencegah penularan. Selain itu kondom juga rentan terhadap kebocoran dan dengan merasa aman, umumnya orang sering lalai sehingga justru bisa lebih berisiko dibandingkan yang lebih berhati-hati. Kampanye pencegahan AIDS harus terdiri dari 3 komponen yaitu ABC:

A= abstinence (puasa berhubungan seks untuk waktu tertentu)

B= being safer (setia kepada pasangan masing-masing, hanya melakukan hubungan seks dengan pasangan yang sah)

C= kondom

Mengapa kondom diletakkan di paling bawah? Karena dua cara di atasnya lebih efektif. (UNAIDS, 2004)

Kok serem ya? Trus gimana donk kalo ada ODHA di sekitar kita?

Ga serem kok, tapi kita harus tahu ilmunya untuk bisa mencegah penularan, menolong ODHA yang membutuhkan pertolongan, menjaga supaya anggota keluarga terhindar dari AIDS. Caranya gimana? Sekali lagi rubah perilaku hidup yang berisiko (seks bebas dan narkoba), ODHA jangan dijauhi tapi dirangkul, diberi motivasi agar bisa hidup dengan normal, beri motivasi agar mau berobat, ajak untuk berkumpul dalam komunitas ODHA untuk mendapatkan informasi terbaru, jangan percaya yang mengatakan dengan menggunakan kondom bisa terhindar dari AIDS ataupun info-info menyesatkan lainnya. Juga, hindari melakukan stigmatisasi terhadap ODHA.

Gimana ya kalo ada anggota keluarga yang terinfeksi HIV?

Ajak ke pusat pelayanan kesehatan yang menangani kasus-ksus HIV/AIDS untuk konsultasi dan melakukan test. Saat ini sudah banyak fasilitas kesehatan yang menyediakan konsultasi dan pengobatan AIDS. Beberapa Puskesmas di Jakarta dan juga propinsi lainnya sudah ada yang ditunjuk pemerintah untuk melakukan tatalaksana AIDS. Untuk di Jakarta, diantaranya yang saya tahu adalah Puskesmas Koja, Tebet, RSPI-SS, RS Budi Asih, RS Fatmawati dan masih banyak lagi.

Gratis? Setahu saya untuk testing dan obat ARV nya gratis, tetapi untuk obat-obat lainnya tergantung IO yang diderita. Misalnya TBC obatnya sudah gratis dan akan diberikan gratis, tetapi untuk toxoplasmosis mungkin harus bayar.

Sebaliknya bagaimana ODHA harus bersikap kepada keluarga dan lingkungan?

ODHA sebaiknya segera mengubah perilaku berisiko tinggi yang dimilikinya, selain itu harus bisa mengerti misalnya ada perlakuan keluarga yang sedikit berbeda. Berikan pengertian perlahan-lahan, semua itu karena mereka belum tahu dan belum mengerti. Dengan perubahan ke rah yang lebih baik, pandangan orang akan berubah juga menjadi lebih baik. Ajaklah anggota keluarga untuk berkumpul bersama ODHA dan keluarganya agar wawasan bisa lebih luas.

Selama 3 tahun bekerja di RSPI-SS, seperti pernah saya ceritakan, hampir setiap jaga di IGD ada pasien AIDS. Pernah saya mendapatkan pasien yang seperti sudah koma, di rangsang sakit tidak merespons. Saya putuskan untuk di rawat dan dipasang selang-selang seperti kateter urin, infus dan NGT (nasogastric tube untuk memasukkan makanan). Begitu mau di pasang kateter oleh perawat, tiba-tiba pasien bangun dan memaki-maki seluruh ruangan, saya memperhatikan keluarganya sangat malu dan minta maaf. Bagi saya tidak masalah karena factor risiko ODHA tersebut adalah penggunaan narkoba suntik, sehingga mungkin sudah terjadi kerusakan di otaknya jadi tidak bisa membedakan mana yang salah, mana yang benar, mana sopan santun, mana caci maki, jadi maklumi saja.

Pernah juga saya mendapatkan pasien kakek-kakek 82 tahun. Datang dengan keluhan tidak bisa makan. Pasien ODHA berasal dari Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau. Kebetulan saya punya om dan sepupu yang tinggal disana dan pernah beberapa kali kesana. Setelah ditanya-tanya benar perkiraan saya, kakek ini sudah berobat di RS Mounth Elizabeth, Singapura. Begitu di cek obat yang di berikan dokter Singapura sangat banyak, dalam sehari bisa lebih dari 30 tablet yang harus ditelan. Saya katakan, pasien sudah kenyang dengan obat, bagaimana mau makan. Dan setelah dikurangi hanya obat-obat yang penting saja, akhirnya bisa makan sedikit-sedikit.

Ada juga bayi, yang orang tuanya berisiko tinggi. Ibunya mantan pekerja seks komersial dan ayahnya buruh. Keduanya sudah meninggal, bayi itu gizi buruk. Sangat kurus. Begitu di test HIV positif dan di rujuk ke RS Dharmais. Beruntung bayi tersebut punya tante yang mau mengasuhnya dengan baik.

Cukup banyak bila diceritakan kasus-kasus AIDS ini, intinya penyakit ini harus dihindari, karena merugikan diri sendiri, keluarga, persahabatan bahkan kehidupan bernegara.

wassalamuálaikum warahmatullahi wabarakaatuh

UNAIDS. (2004). Making condoms work for HIV prevention. Geneva: Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS).